Format Standar Pelayanan Minimal *)

Banyak yang sering keliru dalam menerjemahkan SPM sebuah Rumah Sakit. Sebagai contoh, sebuah rumah sakit memiliki visi menjadi pelayanan unggulan bagi masyarakat di daerahnya. Indikator tercapainya pelayanan unggulan tersebut adalah tercapainya SPM. Ini tentu saja keliru sebab SPM (Standar Pelayanan Minimal) adalah merupakan batas bawah dari kemampuan sebuah rumah sakit. Jadi input, proses dan output dari sebuah RS tidak boleh kurang dari batas bawah yang telah ditetapkan tersebut.

Jika dianalogikan dengan anak sekolah, seorang anak dikatakan sudah menguasai pelajaran sebelumnya dan boleh melanjutkan ke level berikutnya jika ia mampu melewati ujian/tes evaluasi dengan nilai tidak kurang dari 6. Mendapat nilai 6 atau lebih adalah pertanda (indikator) bahwa si anak sudah menguasai pelajaran sebelumnya. Jika nilainya kurang dari 6, maka itu adalah pertanda bahwa ia harus mengulang. Jika anak tersebut ingin menjadi unggulan (juara kelas), maka tidak cukup dengan nilai 6 (batas bawah). Ia harus mampu melewati tes tersebut dengan nilai setinggi-tingginya, mengalahkan teman-temannya yang lain. Saat ia memperoleh nilai tertinggi maka ia disebut sebagai juara. Ini adalah indikator bahwa ia unggul dibandingkan dengan “pesaing-pesaing”nya.

Jadi indikator SPM tentu saja berbeda dengan indikator visi. Indikator SPM diciptakan supaya pelayanan di RS tidak lebih rendah dari batas minimal yang diijinkan, untuk menjamin keselamatan pasien maupun petugas. SPM ini merupakan janji Pemerintah dan RS yang bersangkutan bahwa pelayanan yang akan diberikan kepada masyarakat tidak akan lebih rendah dari nilai-nilai yang tercantung dalam SPM tersebut. Oleh karena itu SPM harus ditandatangani oleh pemerintah dari RS yang menerapkan BLUD.

Menyusun SPM tidak mudah. Diperlukan komitmen dari seluruh komponen yang ada di rumah sakit untuk menyepakati mengenai indikator yang akan digunakan untuk mengukur mutu pelayanan, cara mengukurnya, batas waktu pencapaian, dan sebagainya, hingga alokasi anggaran yang diperlukan untuk mencapai SPM tersebut. Menurut Permendagri No. 61 Tahun 2007, format SPM untuk Badan Layanan Umum Daerah adalah sebagai berikut.

Sebuah Standar Pelayanan Minimal harus memuat komponen: indikator, dimensi mutu, tujuan indikator, rasionalisasi, definisi termonilogi yang akan digunakan, frekuensi updateing (pengumpulan) data, periode dilakukannya analisis, numerator (pembilang), denominator (penyebut), standar pencapaian (treshold/target) dan sumber data (nominator dan denominator).

Untuk menyusun SPM secara utuh dan kemudian dituangkan kedalam Perda, outline atau kerangka yang dapat digunakan adalah sebagai berikut.

  • Bab I Pendahuluan yang terdiri dari;
    • Latar Belakang
    • Maksud dan tujuan
    • Pengertian umum dan khusus
    • Landasan Hukum
  • Bab II Sistematika Dokumen Standar Pelayanan Minimal Rumahsakit
  • Bab III Standar Pelayanan Minimal Rumahsakit.
    • Jenis Pelayanan
    • SPM setiap jenis pelayanan,Indikator dan Standar
  • Penutup
  • Lampiran

*) dari berbagai sumber

2 Responses

  1. Thnks postingnya. Saya sudah mencoba menerapkan konsep ini dalam rangka penerapan Sistem Mutu RS berbasis ISO 9001. Masalahnya, secara umum kebanyakan RS belum terbiasa dengan pelayanan yang terukur, sehingga penerapan SPM atau Quality Objektive sering dianggap sebagai pekerjaan tambahan. Wah…. repotnya.

  2. Saya telah membaca artikel tentang FORMAT STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM).

    Sudilah Bapak/Ibu memberikan saya penjelasan perbedaan antara SPM dengan Standar Operasi dan Prosedur (SOP)?

    Manakah yang disusun lebih dulu SOP atau SPM ?

    Terima kasih.
    Bahri

Leave a comment